SEKILAS PENDIDIKAN KITA
>> Senin, 18 Mei 2009
Nasib Pendidikan di Indonesia
Berdasarkan laporan bidang pendidikan oleh United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) yang dirilis November 2008, Indonesia menduduki peringkat 71 dari 129 negara. Laporan bertajuk "Education for All (EFA) Global Monitoring Report" itu, antara lain menyoroti pendidikan dasar dan kesempatan bagi anak perempuan untuk menikmati pendidikan.
Laporan itu sungguh tidak menggembirakan karena pada 2007, Indonesia menduduki peringkat 62 dari 130 negara, dan pada 2006 justru bertengger di tangga 58. Artinya, selama tiga tahun terakhir pendidikan Indonesia terus terpuruk.
Sejalan dengan laporan badan dunia itu, data pendidikan di Indonesia pada 2008 menunjukkan bahwa angka partisipasi murni (APM) tingkat SD/MI mencapai 95 persen, sedangkan tingkat SMP/MTs baru mencapai 71,83 persen. Sementara itu, angka partisipasi kasar (APK) SMA/MA/SMK 2006 hanya sebesar 55,22 persen dan yang menyedihkan adalah APK pendidikan tinggi hanya mencapai 16,70 persen.
Tingkat partisipasi yang secara gradasi terus menurun, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi itu, masih harus dipangkas dengan angka putus sekolah, mulai dari tingkat SD yang mencapai 2,97 persen, SMP 2,42 persen, SMA 3,06 persen, dan pendidikan tinggi 5,9 persen. Beban ekonomi rakyat yang semakin berat dari tahun ke tahun, menjadi faktor utama munculnya kasus putus sekolah. Kenyataan tersebut masih diperparah dengan tingginya jumlah warga negara yang buta huruf. Data yang ada menunjukkan masih ada 15,4 juta penduduk berusia di atas 15 tahun yang menderita buta aksara. Kondisi itu jauh dari harapan para founding fathers
Begitu terpuruknya pendidikan di Indonesia, padahal negeri jiran sendiri pasca kemerdekaan belajar banyak ke Indonesia soal pendidikan. Walhasil sekarang pendidikan di Malaysia lebih unggul beberapa tingkat kualitasnya dibanding nasib pendidikan di Indonesia sendiri. Lebih terkejut lagi Indonesia mendapatkan peringkat ke-62 (Unesco, Nopember 2007) yang sebelumnya ke-58, sebaliknya Malaysia dari peringkat ke-62 menjadi ke-56.
Dengan berlatar kekalahan kualitas pendidikan tersebut, maka pemerintah sangat memerankan diri dalam terwujudnya kualitas pendidikan yang baik dan dapat diperhitungkan dunia, semakin giat untuk mewujudkan ketertingalan tersebut.
Faktor ketertinggalan tersebut lebih banyak disebabkan oleh kemalasan bangsa Indonesia sendiri, keterlenaan bangsa Indonesia dengan sumber daya alam yang mempesona dan sangat mungkin disebabkan oleh keminiman dana pendidikan yang ditargetkan 20% dari APBN selalu dikorup para petinggi pemerintahan baik pusat maupun daerah. Yang pada akhirnya pendidikan terabaikan dan termarjinalkan ke jurang keterpurukan.
Pemerintah sendiri kurang menghargai terhadap warna negara yang berprestasi yang ikut justru membawa nama baik bangsa dan negara di ajang international, karena lebih mengedepankan prestasi properti dan lebih sibuk dengan nepotisme dan kolusi para pejabat. Makin besar tingkat ketidaksadaran bangsa terhadap pendidikan makin besar pula tingkat kecurangan, nepotisme dan kolusi yang jelas memperkeruh nilai sebuah pendidikan. Beberapa tahun lalu dan mungkin masih berjalan hingga sekarang, pendaftaran bagi sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang bonafid dan berkualitas tentunya harus didukung oleh uang yang banyak. Hingga kesempatan pendidikan bagi yang berprestasi tanpa uang agaknya tak bisa terjangkau pada pendidikan berkualitas. Akhirnya yang lulus daftar, lulus testing, lulus sekolah hanyalah orang-orang yang berada dan walau menyandang nilai yang kurang bukan siswa yang cerdas dan pintar lagi miskin. Terbukti republik ini dipimpin dan digerakkan oleh orang-oarng yang sebagian kuliatas intelektualnya di bawah standar dan tidak cerdas baik dalam instansi legislatif maupun eksekutif. id="fullpost">
Demokratisasi Pendidikan?
Sisi lain demokratisasi pendidikan juga tidak nampak pra reformasi di Indonesia, hingga mahasiswa dan pelajar yang agak vokal mengkritisi kebijakan pemerintah selalu dicekal bahkan dipenjarakan. Yang pemerintah ingginkan pra reformasi dulu adalah warga negara yang manggut, sumuhun dawuh saja, hingga kelak menjadi pegawai pemerintah pun akan melakukan sesuatu yang asal bapak senang. Apatah lagi kalau seorang pelajar vocal dengan prinsip keislamannya… wah jauh sekali untuk menjadi seorang pemegang kekuasaan di negeri ini. Terlebih-lebih yang paham keislamannya tinggi dan sikap ketaatnya teruji dan konsekuaen. Hingga pemerintah di zaman orde baru sangat tidak memperhatikan lembga-lembaga pendidikan yang berbau agama khususnya Islam. Pesantren adalah salahsatu lembaga pendidikan yang menjadi korban dan tidak pernah terlegalisasi di Indonesia. Baru beberapa tahun ini saja Departeman Agama dan Depdiknas mengakui dan mulai melirik keberadaan pesantren yang disebut sebuah lembaga pendidikan yang melahirkan generasi-generasi mumpuni.
Sebelum reformasi dulu apalagi pada orde baru silam, betapa rendahnya pendidikan swasta apalagi swasta yang berbnuansa Islam, sangat tidak berharga dalam pandangan pemerhati pendidikan, dikucilakn dan bahkan dianggap tidak sekolah, bukan pendidikan yang nasionalis. Bukankah lulusan pesantren dulu tidak boleh masuk perguruan tinggi karena ijazahnya tidak diakui? Bukankah itu pelecehan pendidikan, dan bukankah yang dibutuhkan kualitas dengan tidak mengesampingkan kuantitas? Semua lulusan pesantren harus mengikuti Ujian Negara yang dikelaola pemerintah saat itu. Bukankah pangkalnya adalah pemerintah tidak mau melegalkan pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang sudah teruji dalam hal keagamaan?
Reformasi Pendidikan
Setelah berakhir kejayaan rezim Orde Baru, lahirlah reformasi pendidikan yang lebih merakyat dan dapat dirasakan pendidikan oleh semua warga negara Indonesia. Pendidikan dicanangkan sebagai proses yang mutlak harus dirasakan oleh setiap warga negara Indonesia terlebih-lebih pendidikan dasar selama sembilan tahun yakni sekolah dasar/ibtidaiyah selama enam tahun dan sekolah menengah/tsanawiyah selama tiga tahun. Dicanangkan oleh Depdiknas dan Depag RI sebagai program wajib belajar untuk warga negara yang berusia sekolah pada tingkat tersebut. Hingga tidak ada lagi bangsa Indonesia yang tidak selesai mengenyam pendiikan dan tidak ada lagi warga negara yang buta huruf dan buta baca. Menjelang era globalisasi diharapkan bangsa yang memiliki kebhinekaan ini sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, yakni siap mengahadapi era globalisasi pedidikan kelak.
Dalam kenyataannya di beberapa daerah sudah semakin terasa, khususnya oleh lembaga-lembaga pendidikan swasta di negeri ini, apalagi sejak diberlakukannya otonomi pendidikan. Tidak lagi sekolah-sekolah negeri yang harus bernilai tinggi, mendapatkan sumbangan pendidikan lebih diprioritaskan, tidak lagi guru negeri saja yang mampu bersaing untuk meningkatkan kulaitasnya, akan tetapi sekolah-seklah swasta sudah banyak yang mampu menujukkan identitas dirinya sebagai lembaga yang mampu menelorkan alumni atau lulusan yang berkualitas. Profesi guru disandang oleh pra pendidik di lembaga-lembaga swasta juga bisa bersaing dengan program sertifikasi yang dicanangkan pemerintah. Kucuran dana pembangunan dan kelancaran pendidikan juga dirasakan oleh lembaga-lembaga swasta di seluruh peloksok negeri ini alau belum merana batul. Segala bentuk bantuan juga dapat dirasakan oleh semua siswa/pelajar yang mengenyam pendidikan. Beasiswa juga hampirsetiap instansi dan depatemen mencanangkang dan ikut membantu berpartisipasi terwujudnya program pemerintah ini.
Sekolah berbasis Pesantren
Kian menjamur pendidikan yang mengatasnamankan pesantren dengan berbagai macam nama boarding school, sekolah Islam terpadu dan pesantren terpadu lainnya. Semua nama itu jelaslah mengatasnamakan pesantren walau ada sedikit perbedaan yang tidak terlalu signifikan. Diakui atau tidak sejak adanya pesantren pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan republik ini telah nyata dan terbukti bahwa keberadaan pesantren sangat diperhitungkan dalam perwujudan eksistensi negeri ini. Orang-orang pesantren justru lebih banyak andil dalam memeperjuangkan kemerdekaan bangsa ini dari rezim penjajajahan yang sekian abad lamanya. Dunia pesantren sudah tidak asing lagi bagi kita, bagi semua warga negara Indonesia. Istilah pesantren mungkin hanya di Indonesia, karena Indonesia terdiri atas berbagai suku, bangsa, adat, ras dan agama serta budaya yang ikut juga mempengaruhi perkembangan. Pesantren yang ikut memberikan sumbangsih terhadap perkembangan pendiidikan di Indonesia ini memang cukup handal dalam menentang budaya barat dan penjajahan budaya lewat pendidikan pada umumnya. Bahkan yang paling dihawatirkan oleh bangsa barat adalah lembaga pendidikan yang bernama pesabren. Hal ini karena orang-orang pesantren sangat kuat kemandiriannya, keikhlasannya, kesederhanaannya, memegang teguh terhadap prinsip-prinsip keisalaman dan konsisten terhadap pengkaderan ulama dan tokoh masyarakat. Bahkan tidak sedikit negera-negara sekuler yang mengangap terorisme justru lahir dari pesantren. Sekali lagi pesantren bukan tempat mencetak teroris, pesantren bukan sarang teroris.
Selaras dengan perkembangannya bhwa pesantren berkembang sesuai budaya dan kebutuhan masyarakat, maka terjadilah beberapa jenis pesantren yang berkembang di Indonesia. Sebagian pesantren ada yang mengembangkan kitab-kitab Turats (kitab kuning) tanpa mempelajari kitab-kitab modern atau pendidikan umum. Ada juga pesntren yang mengembangkan pendidkan persekolahan yang berupaya menghilangkan kesan dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Lebih dari itu ada juga pesantren yang mengembangkan pendidikan terpadu antara pendidikan umum dan agama yang dilengkapi disiplin hidup sebagai masyarakat muslim yang militan dan modern dengan sistem yang modern baik aturan dan sunah-sunah yang berlaku.
Dilihat dari sisi kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang bernama pesantren ini banyak keungulan yang didapat yang sudah merupakan sistem program pendidikan pesantren. Keunggulan ini sudah terbukti dan berjalan dengan baik dan teruji, di antaranya kesederhanaan, keikhlasan, persaudaran Islam (ukhuwah islamiyah), kemandirian, dan kebebasan. Sementara sekolah yang dikembangkan pemerintah memiliki keunggulan yang berbeda di antaranya adalah pendidikan umum lebih diutamanakan, iptek yang selalu dikembangkan, adminstrasi yang tersistem baik, profesianlaiisme pendididk yang sesuai porsi secara proporsional.
Berdasarkan laporan bidang pendidikan oleh United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) yang dirilis November 2008, Indonesia menduduki peringkat 71 dari 129 negara. Laporan bertajuk "Education for All (EFA) Global Monitoring Report" itu, antara lain menyoroti pendidikan dasar dan kesempatan bagi anak perempuan untuk menikmati pendidikan.
Laporan itu sungguh tidak menggembirakan karena pada 2007, Indonesia menduduki peringkat 62 dari 130 negara, dan pada 2006 justru bertengger di tangga 58. Artinya, selama tiga tahun terakhir pendidikan Indonesia terus terpuruk.
Sejalan dengan laporan badan dunia itu, data pendidikan di Indonesia pada 2008 menunjukkan bahwa angka partisipasi murni (APM) tingkat SD/MI mencapai 95 persen, sedangkan tingkat SMP/MTs baru mencapai 71,83 persen. Sementara itu, angka partisipasi kasar (APK) SMA/MA/SMK 2006 hanya sebesar 55,22 persen dan yang menyedihkan adalah APK pendidikan tinggi hanya mencapai 16,70 persen.
Tingkat partisipasi yang secara gradasi terus menurun, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi itu, masih harus dipangkas dengan angka putus sekolah, mulai dari tingkat SD yang mencapai 2,97 persen, SMP 2,42 persen, SMA 3,06 persen, dan pendidikan tinggi 5,9 persen. Beban ekonomi rakyat yang semakin berat dari tahun ke tahun, menjadi faktor utama munculnya kasus putus sekolah. Kenyataan tersebut masih diperparah dengan tingginya jumlah warga negara yang buta huruf. Data yang ada menunjukkan masih ada 15,4 juta penduduk berusia di atas 15 tahun yang menderita buta aksara. Kondisi itu jauh dari harapan para founding fathers
Begitu terpuruknya pendidikan di Indonesia, padahal negeri jiran sendiri pasca kemerdekaan belajar banyak ke Indonesia soal pendidikan. Walhasil sekarang pendidikan di Malaysia lebih unggul beberapa tingkat kualitasnya dibanding nasib pendidikan di Indonesia sendiri. Lebih terkejut lagi Indonesia mendapatkan peringkat ke-62 (Unesco, Nopember 2007) yang sebelumnya ke-58, sebaliknya Malaysia dari peringkat ke-62 menjadi ke-56.
Dengan berlatar kekalahan kualitas pendidikan tersebut, maka pemerintah sangat memerankan diri dalam terwujudnya kualitas pendidikan yang baik dan dapat diperhitungkan dunia, semakin giat untuk mewujudkan ketertingalan tersebut.
Faktor ketertinggalan tersebut lebih banyak disebabkan oleh kemalasan bangsa Indonesia sendiri, keterlenaan bangsa Indonesia dengan sumber daya alam yang mempesona dan sangat mungkin disebabkan oleh keminiman dana pendidikan yang ditargetkan 20% dari APBN selalu dikorup para petinggi pemerintahan baik pusat maupun daerah. Yang pada akhirnya pendidikan terabaikan dan termarjinalkan ke jurang keterpurukan.
Pemerintah sendiri kurang menghargai terhadap warna negara yang berprestasi yang ikut justru membawa nama baik bangsa dan negara di ajang international, karena lebih mengedepankan prestasi properti dan lebih sibuk dengan nepotisme dan kolusi para pejabat. Makin besar tingkat ketidaksadaran bangsa terhadap pendidikan makin besar pula tingkat kecurangan, nepotisme dan kolusi yang jelas memperkeruh nilai sebuah pendidikan. Beberapa tahun lalu dan mungkin masih berjalan hingga sekarang, pendaftaran bagi sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang bonafid dan berkualitas tentunya harus didukung oleh uang yang banyak. Hingga kesempatan pendidikan bagi yang berprestasi tanpa uang agaknya tak bisa terjangkau pada pendidikan berkualitas. Akhirnya yang lulus daftar, lulus testing, lulus sekolah hanyalah orang-orang yang berada dan walau menyandang nilai yang kurang bukan siswa yang cerdas dan pintar lagi miskin. Terbukti republik ini dipimpin dan digerakkan oleh orang-oarng yang sebagian kuliatas intelektualnya di bawah standar dan tidak cerdas baik dalam instansi legislatif maupun eksekutif. id="fullpost">
Demokratisasi Pendidikan?
Sisi lain demokratisasi pendidikan juga tidak nampak pra reformasi di Indonesia, hingga mahasiswa dan pelajar yang agak vokal mengkritisi kebijakan pemerintah selalu dicekal bahkan dipenjarakan. Yang pemerintah ingginkan pra reformasi dulu adalah warga negara yang manggut, sumuhun dawuh saja, hingga kelak menjadi pegawai pemerintah pun akan melakukan sesuatu yang asal bapak senang. Apatah lagi kalau seorang pelajar vocal dengan prinsip keislamannya… wah jauh sekali untuk menjadi seorang pemegang kekuasaan di negeri ini. Terlebih-lebih yang paham keislamannya tinggi dan sikap ketaatnya teruji dan konsekuaen. Hingga pemerintah di zaman orde baru sangat tidak memperhatikan lembga-lembaga pendidikan yang berbau agama khususnya Islam. Pesantren adalah salahsatu lembaga pendidikan yang menjadi korban dan tidak pernah terlegalisasi di Indonesia. Baru beberapa tahun ini saja Departeman Agama dan Depdiknas mengakui dan mulai melirik keberadaan pesantren yang disebut sebuah lembaga pendidikan yang melahirkan generasi-generasi mumpuni.
Sebelum reformasi dulu apalagi pada orde baru silam, betapa rendahnya pendidikan swasta apalagi swasta yang berbnuansa Islam, sangat tidak berharga dalam pandangan pemerhati pendidikan, dikucilakn dan bahkan dianggap tidak sekolah, bukan pendidikan yang nasionalis. Bukankah lulusan pesantren dulu tidak boleh masuk perguruan tinggi karena ijazahnya tidak diakui? Bukankah itu pelecehan pendidikan, dan bukankah yang dibutuhkan kualitas dengan tidak mengesampingkan kuantitas? Semua lulusan pesantren harus mengikuti Ujian Negara yang dikelaola pemerintah saat itu. Bukankah pangkalnya adalah pemerintah tidak mau melegalkan pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang sudah teruji dalam hal keagamaan?
Reformasi Pendidikan
Setelah berakhir kejayaan rezim Orde Baru, lahirlah reformasi pendidikan yang lebih merakyat dan dapat dirasakan pendidikan oleh semua warga negara Indonesia. Pendidikan dicanangkan sebagai proses yang mutlak harus dirasakan oleh setiap warga negara Indonesia terlebih-lebih pendidikan dasar selama sembilan tahun yakni sekolah dasar/ibtidaiyah selama enam tahun dan sekolah menengah/tsanawiyah selama tiga tahun. Dicanangkan oleh Depdiknas dan Depag RI sebagai program wajib belajar untuk warga negara yang berusia sekolah pada tingkat tersebut. Hingga tidak ada lagi bangsa Indonesia yang tidak selesai mengenyam pendiikan dan tidak ada lagi warga negara yang buta huruf dan buta baca. Menjelang era globalisasi diharapkan bangsa yang memiliki kebhinekaan ini sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, yakni siap mengahadapi era globalisasi pedidikan kelak.
Dalam kenyataannya di beberapa daerah sudah semakin terasa, khususnya oleh lembaga-lembaga pendidikan swasta di negeri ini, apalagi sejak diberlakukannya otonomi pendidikan. Tidak lagi sekolah-sekolah negeri yang harus bernilai tinggi, mendapatkan sumbangan pendidikan lebih diprioritaskan, tidak lagi guru negeri saja yang mampu bersaing untuk meningkatkan kulaitasnya, akan tetapi sekolah-seklah swasta sudah banyak yang mampu menujukkan identitas dirinya sebagai lembaga yang mampu menelorkan alumni atau lulusan yang berkualitas. Profesi guru disandang oleh pra pendidik di lembaga-lembaga swasta juga bisa bersaing dengan program sertifikasi yang dicanangkan pemerintah. Kucuran dana pembangunan dan kelancaran pendidikan juga dirasakan oleh lembaga-lembaga swasta di seluruh peloksok negeri ini alau belum merana batul. Segala bentuk bantuan juga dapat dirasakan oleh semua siswa/pelajar yang mengenyam pendidikan. Beasiswa juga hampirsetiap instansi dan depatemen mencanangkang dan ikut membantu berpartisipasi terwujudnya program pemerintah ini.
Sekolah berbasis Pesantren
Kian menjamur pendidikan yang mengatasnamankan pesantren dengan berbagai macam nama boarding school, sekolah Islam terpadu dan pesantren terpadu lainnya. Semua nama itu jelaslah mengatasnamakan pesantren walau ada sedikit perbedaan yang tidak terlalu signifikan. Diakui atau tidak sejak adanya pesantren pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan republik ini telah nyata dan terbukti bahwa keberadaan pesantren sangat diperhitungkan dalam perwujudan eksistensi negeri ini. Orang-orang pesantren justru lebih banyak andil dalam memeperjuangkan kemerdekaan bangsa ini dari rezim penjajajahan yang sekian abad lamanya. Dunia pesantren sudah tidak asing lagi bagi kita, bagi semua warga negara Indonesia. Istilah pesantren mungkin hanya di Indonesia, karena Indonesia terdiri atas berbagai suku, bangsa, adat, ras dan agama serta budaya yang ikut juga mempengaruhi perkembangan. Pesantren yang ikut memberikan sumbangsih terhadap perkembangan pendiidikan di Indonesia ini memang cukup handal dalam menentang budaya barat dan penjajahan budaya lewat pendidikan pada umumnya. Bahkan yang paling dihawatirkan oleh bangsa barat adalah lembaga pendidikan yang bernama pesabren. Hal ini karena orang-orang pesantren sangat kuat kemandiriannya, keikhlasannya, kesederhanaannya, memegang teguh terhadap prinsip-prinsip keisalaman dan konsisten terhadap pengkaderan ulama dan tokoh masyarakat. Bahkan tidak sedikit negera-negara sekuler yang mengangap terorisme justru lahir dari pesantren. Sekali lagi pesantren bukan tempat mencetak teroris, pesantren bukan sarang teroris.
Selaras dengan perkembangannya bhwa pesantren berkembang sesuai budaya dan kebutuhan masyarakat, maka terjadilah beberapa jenis pesantren yang berkembang di Indonesia. Sebagian pesantren ada yang mengembangkan kitab-kitab Turats (kitab kuning) tanpa mempelajari kitab-kitab modern atau pendidikan umum. Ada juga pesntren yang mengembangkan pendidkan persekolahan yang berupaya menghilangkan kesan dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Lebih dari itu ada juga pesantren yang mengembangkan pendidikan terpadu antara pendidikan umum dan agama yang dilengkapi disiplin hidup sebagai masyarakat muslim yang militan dan modern dengan sistem yang modern baik aturan dan sunah-sunah yang berlaku.
Dilihat dari sisi kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang bernama pesantren ini banyak keungulan yang didapat yang sudah merupakan sistem program pendidikan pesantren. Keunggulan ini sudah terbukti dan berjalan dengan baik dan teruji, di antaranya kesederhanaan, keikhlasan, persaudaran Islam (ukhuwah islamiyah), kemandirian, dan kebebasan. Sementara sekolah yang dikembangkan pemerintah memiliki keunggulan yang berbeda di antaranya adalah pendidikan umum lebih diutamanakan, iptek yang selalu dikembangkan, adminstrasi yang tersistem baik, profesianlaiisme pendididk yang sesuai porsi secara proporsional.
0 komentar:
Posting Komentar